Pages

JEJAK TELAH DI LANGKAHKAN SERIBU KEHENDAK HARUS TERLAHIRKAN

Ads 468x60px

Labels

Minggu, 29 Juni 2014

Mencari Tari Modern/Kontemporer Indonesia

Oleh : Helly Minarti

Istilah ‘kontemporer’ begitu kerap digunakan di perbincangan dunia seni tari Indonesia, sementara makna dan cakupan definisinya tidak pernah didiskusikan secara diskursif. Akibatnya, pengertian ‘tari kontemporer’ cenderung disederhanakan sebagai sebuah istilah yang terlanjur popular, dan berada di antara dua kutub: yaitu semua karya seni tari yang bukan untuk konsumsi hiburan popular, namun secara bentuk juga bukan termasuk seni tari tradisional yang bersandar pada pakem-pakem yang sudah berlaku lama. Sederhananya, karya tari ‘kontemporer’ adalah yang bukan tari latar di acara seperti Gebyar BCA atau pertunjukan dangdut Inul, tapi juga bukan tari sakral macam Bedaya Ketawang atau tari rakyat ala jogedan ledek Banyuwangi.

Padahal, sebagai sebuah sistem pengetahuan dan wacana (diskursus), tari modern/kontemporer adalah topik yang paling tidak telah berkembang sejak seratus tahun terakhir. Jika bercermin pada diskusi yang berlangsung di tingkat global, sebelum sampai pada istilah ‘kontemporer’, dunia tari (terutama di Eropa dan Amerika) lebih dulu muncul dengan istilah ‘tari modern’ ― yang referensinya mengarah pada sebuah momentum artistik ketika penciptaan tari dimotivasi niat untuk menjadikan tari sebagai bahasa ucap ekpresi seni tari itu sendiri. Yaitu, momentum ketika tari bukan lagi melayani kebutuhan di luar dirinya ― entah itu konteks di dunia ritual, maupun ruang-ruang sosial dan kultural ― melainkan melayani tari itu sendiri.

Oxford Dictionary of Dance, misalnya, merumuskan tari modern (modern dance) sebagai:
tari modern ― sebuah istilah yang digunakan secara luas di Amerika dan Inggris untuk mendenotasikan tari yang tidak berbasis pada aliran akademis ballet klasik. Sepanjang awal abad ke-20, praktisi seperti Isadora Duncan, Ruth St Denis, Martha Graham dan Doris Humphrey, tari modern berkembang (sebagai sebuah aliran) yang berseberangan dengan ballet klasik, dengan menolak formalitas struktur dan kadang juga ketidakseriusan secara tematik dalam ballet klasik. Para perintis tari modern sengaja menjauhi hirarki kaku dalam ballet, dan lebih menyukai gaya gerakan yang lebih bebas ― misalnya lebih menyukai (menari dengan) kaki telanjang ketimbang bersepatu pointe. Orang-orang seperti Graham dan Humphrey mengembangkan metode-metode mereka sendiri dalam mengajar teknik baru yang diperlukan untuk menciptakan koreografi mereka. Subyek awal dari karya mereka seringkali sesuatu yang politis atau psikologis (Graham terutama dipengaruhi oleh psikologi Jungian dalam tariannya). Di kurun 1950an Cunningham maju satu langkah dalam bentuk dengan menelanjangi tari dari konteks literatur maupun naratif, sekaligus mengisolasi bentuknya dari iringan musikal. Di akhir abad ke-20, rintangan-rintangan antara ballet dan tari modern kurang ditekankan oleh para penari dan koreografer yang cenderung berkerja menggunakan kedua gaya tersebut (Craine dan Mackrell, 2000, 2004: terjemahan saya).

Definisi yang berorientasi Eropa-Amerika ini jelas mengenyampingkan fenomena tari di belahan dunia lain, misalnya apa yang terjadi di negara-negara yang kini dikenal sebagai bagian dari benua Asia atau Afrika. Seolah-olah, dua dunia tersebut ― seni tari di Eropa-Amerika dan seni tari di Asia Afirka ― tidak pernah berdialog. Padahal, menurut pandangan Joseph Heal yang melihat hubungan antara tari modern Eropa-Amerika dan Asia dalam perspektif historis, kontak antara tari Asia dan tari modern dari barat telah berlangsung sejak memasuki abad ke-20 telah dan hubungan ini tetap terjalin seperti yang ia ungkapkan ketika mendiskusikan karya Lin Hwai-min, pengarah artistik Cloudgate Dance Theatre. Menurutnya:

Akar tari modern adalah Isadora Duncan. Ia mendamba kebenaran-kebenaran dari tarian kuna. (Tariannya) adalah ziarahnya menuju Acropolis. Saya tidak bisa lebih lagi menekankan fakta bahwa apa yang hilang di Barat adalah hubungan yang hidup dengan tarian-tarian kuna mereka. Isadora harus berkerja secara instingtif prinsip-prinsip pertama dari tarian kuna; dan dalam menjangkau sang kuna, ia justru melahirkan sang modern. Lin (Hwai-min) memberikan Isadora apa yang dulu selalu ia damba: sebuah hubungan dengan tarian kuna yang asli (Houseal, 2005: 36, terjemahan saya).

Houseal lebih jauh merunut bagaimana setelah periode yang ia sebut sebagai ‘kerinduan seminal ― sesuatu yang berpengaruh panjang ― Isadora terhadap hal yang kuna’, tari modern terus mundur dalam waktu, tumbuh layaknya bagai antusiasme anak muda tentang kemungkinan-kemungkinan eksotik dan zaman, yang pada akhirnya menghubungkannya dengan kemunculan Denishawn yang berpengaruh ― kelompok tari yang didirkan oleh koreografer modernis Amerika, Ruth St Denis dan Ted Shawn.

Pasangan Denishawn melakukan tur tari ke negara-negara Asia selama dua tahun (antara lain ke Jepang, China, Thailand, Indonesia, India, Darjeeling dan Kashmir) antara tahun 1925-26, sebuah periode ketika mereka mementaskan koreografi mereka sekaligus terekspos dengan beberapa gaya tarian Asia (Housel: 37). Denishawn juga pernah menjadi rumah bagi penari-pencipta tari berbakat seperti Charles Weidman, Doris Humphrey dan Martha Graham ― terutama Graham, menurut Houseal, yang gaya artistiknya sangat dalam dipengaruhi oleh Denishawn (meski menurut Ramsay Burt, Graham justru melihat dirinya berbeda dengan pendekatan Denishawn yang orientalis). Adalah melalui Graham, Housel menghubungkan kembali tari modern Eropa-Amerika dengan tarian kuna seperti tercetak jelas di karya-karya terakhir Lin Hwai-min (sejak Moonwater yang disambung dengan trilogi Cursive).

Secara epistemologis istilah ‘tari modern’ Craine-Mackrell mengandung kompleksitas seperti yang diuraikan oleh Sally Banes lewat bukunya yang berjudul Terpsichore in Sneakers: Post-Modern Dance (1987/1977). Banes merujuk tari modern sebagai “…. aslinya sebuah istilah inklusif yang bisa diterapkan pada hampir setiap tari teatrikal yang berangkat dari ballet atau hiburan popular,” (Banes, 1987: xiii, terjemahan dan cetak miring dari saya).

Pada penghujung kurun 1950an, tari modern telah memapankan gaya serta teori-teorinya, dan muncul sebagai sebuah genre tari yang dikenali. Ia menggunakan gerakan-gerakan yang distilisasi serta tingkat-tingkat energi di struktur-struktur yang lugas (tema dan variasi-variasi, ABA dan lainnya) untuk mengungkap tekanan-tekanan perasaan serta pesan sosial. Koreografi ditopang oleh elemen-elemen ekspresif dari teater seperti musik, properti, pencahayaan spesial serta kostum. Aspirasi-aspirasi tari modern, dari awalnya sudah bersifat anti-akademik, secara simultan berwujud sebagai primitivis dan modernis. Gravitasi, disonansi, dan (posisi) tubuh mendatar (horisontal) yang kuat adalah alat untuk melukiskan kekerasan kehidupan modern, ketika para koreografer mengarahkan satu mata ke masa depan sementara mata lainnya ke tari-tari ritual dari kebudayaan non barat (Sommer via Banes, 1987: xiii, terjemahan saya).

Meskipun konvensi konseptual tentang apa yang dimaksud sebagai ‘tari modern’ pada waktu itu telah ajeg, Banes berpendapat istilah ‘modern’ di sini problematis, karena menurutnya di dalam perkembangan tari, hal tersebut tidak berarti paralel seperti di dalam pengertian ‘modernist art’ (seperti layaknya di seni rupa atau sastra) yang biasanya berciri: diakuinya materi-materi medium (pengantara), dikupasnya mutu-mutu esensial tari sebagai sebuah ekspresi seni, pemisahan elemen-elemen formal, pengabstraksian bentuk-bentuk serta eliminasi dari referensi-referensi eksternal sebagai subyek-subyek (Banes,1987: xv). Karenanya, Banes mencatat, dalam banyak hal, adalah tari post-modern (Amerika) yang berfungsi sebagai seni modernis (dalam tari). Singkatnya, ‘modern’ dalam tari tidak sama artinya dengan menjadi modernis seperti dalam pengertian yang dipakai untuk ekspresi artistik lainnya.

Sementara, di lingkup wacana Eropa-Amerika sendiri, definisi Craine-Mackrell dan Banes di atas telah ditantang oleh para revisionis seperti Ramsay Burt yang menawarkan pandangan lain di luar dikotomi ballet klasik versus tari modern, melalui argumen jenialnya yang mengupas secara kritis relasi antara modernisme tari dengan modernitas itu sendiri, yang berujung pada analisa tentang konstelasi yang lebih kompleks antara ruang-ruang pertunjukan di kota-kota metropolis hasil modernitas dengan konstruksi identitas rasial dalam karya tari (lihat Burt, 1998).

Gerakan modernisme dalam tari jelas berkaitan dengan modernitas itu sendiri, meski Burt mengingatkan bahwa modernisme selayaknya tidak ditumpang-tindihkan dengan pengertian modernitas (1998: 10). Para penari modernis awal (yang muncul di awal abad ke 20), jelas diinspirasi oleh modernitas yang melanda dunia saat itu, antara lain diwakili oleh lahirnya kota-kota besar dunia (metropolis) yang dipacu sejak revolusi industri. Kemajuan transportasi telah mendorong mobilitas para seniman tari yang melahirkan aliran modernis. Misalnya, karya Isadora Duncan ― pada awalnya tidak mendapat perhatian di negara asalnya, Amerika ― justru mendapat sambutan hangat di Paris dan kota-kota Eropa lainnya.

Jadi, jika modernitas menciptakan ruang-ruang baru dan pengalaman-pengalaman baru tentang waktu, maka modernisme di tari teater menjelajah dimensi-dimensi tersebut secara koreografis (Burt: 25). Burt bahkan lebih jauh mengaitkan aktivitas artistik para modernis awal seperti Nijinsky (dan Nijinska, adiknya), yang tidak hanya sibuk mencipta tari di ruang-ruang pertunjukan teater namun juga mengisi acara seperti selingan antar film di bioskop. Ia juga menampilkan contoh seperti koreografer keturunan Afrika-Amerika seperti Katherine Dunham dan Josephine Baker ― yang baik latar belakang teknik tari maupun minatnya sangat beragam. Misalnya, Dunham belajar baik teknik ballet klasik, modern Amerika serta tarian Afrika. Ia adalah koroegrafer sekaligus scholar. Sementara Baker dibesarkan di dunia hiburan, namun berpengaruh besar bagi representasi tubuh eksotik-primitif bagi para warga Paris. Bagi Burt, bukan hanya ‘modern dance’ yang perlu dilihat, tapi juga (gejala) modern dancing, terutama yang dipicu oleh gejala modernitas yang semakin meluas saat itu di Eropa.

Saya sendiri tergelitik menjelajah kembali beberapa momentum pada awal abad ke-20 ketika beberapa ‘pertemuan kultural’ penting terjadi di mana seni pertunjukan (atau seni tontonan) dari Asia dipentaskan di forum-forum festival kolonial di Eropa, salah satu yang terpenting adalah Paris Exposition. Setidaknya, ada tiga contoh yang layak diinvestigasi lebih jauh. Pertama, pertunjukan sekelompok penari ledek dari Wonogiri pada tahun 1889 (namun diperkenalkan antara lain sebagai para putri dari Pura Mangkunegara) yang antara lain mengilhami Debussy setelah melihat pertunjukan musik gamelan untuk pertama kalin.

Kedua, pertunjukan kelompok tari dan teater dari Bali pada forum yang sama tahun 1931, yang kini kondang mengilhami Antonin Artaud dalam menulis buku legendarisnya, The Theatre and Its Double (yang kelak dibaca habis oleh Sardono sebelum ia melahirkan karya Dongeng Dari Dirah, kolaborasi Sardono dengan para seniman Bali dari desa Teges, Pliatan) serta pertunjukan Sadda Yakko ― mantan geisha pertama yang berpentas di Paris Exposition pada tahun 1910. Seluruh peristiwa ini terajdi di Paris Exposition antara kurun 1889 hingga 1931.

Di forum-forum seperti Paris Exposition di ataslah, imaji tentang Jawa atau Bali ― yang kelak menjadi elemen pendukung kebudayaan nasion Indonesia ― dibentuk di ruang-ruang transnasional. Forum Paris Exposition juga menyimpan momentum khusus di sejarah tari modern dunia ― karena di situlah ‘pertemuan’ atau eksposur terhadap imaji tentang ‘yang liyan dari Timur’ dalam tari dan teater berlangsung. Misalnya, pertunjukan teater New Wave dari Jepang pimpinan Otojiro yang beristri mantan geisha yang lantas menjadi aktor dan penari di kelompok suaminya, Sadda Yakko.

Pertunjukan mereka diproduksi oleh Louï Fuller, salah satu penari modernis dari Amerika yang berdomisili di Paris. Selain memproduksi pertunjukan Otojiro-Yakko, Fuller lantas juga memproduksi pertunjukan Isadora Duncan, yang, sebagai penari muda berusia 23 tahun, sempat menonton pertunjukan Yakko dan amat terkesan dengan penampilan Yakko ketika ia berkunjung ke Paris Exposition bersama ayah dan saudara lelakinya:

“Sebuah kesan mendalam tentang (Paris Exposition) tahun 1900 adalah tarian Sadda Yacca [sic], penari tragis terbesar dari Jepang,” ucapnya mengenang bertahun kemudian. ‘Malam demi malam Charles Halle dan saya sangat tergetar dengan seni yang menakjubkan dari tragedi-tragedi besar” (Lesley Downer, 2003: 181-182, terjemahan saya).

Penari muda Amerika lainnya, Ruth St Denis, juga berusia 23, sedang dalam perjalanan kembali ke Amerika Serikat setelah muncul dalam pertunjukan Zarza di London. Ia pun terpesona dengan ‘to an unbelieavable pitch by the extraordinary acting of Mme. Sadi Yaco’ [sic]. Ia menulis:

Untuk pertama kalinya, saya menangkap dan memahami kesederhanaan yang indah dari seni Jepang. Di sini, di dalam tariannya (Yakko), terkandung antithesis dari kegairahan yang flamboyan serta berlebihan dari akrobatik-akrobatik Amerika. Pertunjukannya menghatui saya bertahun-tahun dan mengisi jiwa saya dengan semacam kerinduan akan sesuatu yang subtil dan susah dicapai di dalam seni yang kemudian menjadi ambisi utama saya sebagai seniman. Dari dia (Yakko), saya pertama kali belajar tentang perbedaan antara kata ‘menakjubkan’ dan ‘membangkitkan’. (Lesley Downer, 2003: 182, terjemahan saya).

Jadi, pertemuan dan momentum antara tari modern yang awalnya digagas oleh para penari Amerika (Fuller, Duncan dan St Denis) telah terjadi bahkan sejak awal abad ke-20. Hanya saja, peristiwa-peristiwa ini tidak pernah disebut ― jangankan dianalisa ― secara lebih mendalam di buku-buku teks tari modern/kontemporer. Data-data ini tersembunyi dalam uraian biografis Yakko.

Indonesia: Multikulturalisme dan Modernitas Alternatif
Seni tari telah mengakar lama pada kebudayaan lokal di wilayah yang kini dikenal sebagai Indonesia. Tradisi dan presentasi tubuh yang menari telah muncul di ruang-ruang ritual/sakral, sosial maupun panggung pertunjukan masyarakat sejak lama – mulai dari upacara-upacara keagamaan di pura-pura Hindhu di Bali, hajatan perkawinan atau sunatan di unit-unit keluarga lokal hingga pertunjukan ‘modern’ ala wayang wong Sriwedari. Tari berkait erat dengan kebudayaan dan identitas etnik yang beragam jumlahnya di Nusantara dengan konteks penciptaan dan pemaknaan yang begitu beragam.

Di Jawa Tengah misalnya ― di Yogyakarta maupun Surakarta secara spesifik ― tari klasik Jawa diciptakan di dalam kraton-kraton raja Jawa, terbatas untuk melayani upacara-upacara di dalam tembok kraton, dan hanya bisa ditonton oleh segelintir orang dari kalangan tertentu. Namun, memasuki dekade kedua abad ke-20, secara perlahan, pendidikan tari ala kraton ini bisa diakses oleh orang kebanyakan. Pada tahun 1918, Pangeran Tedjokusumo dari Kraton Yogyakarta membuka sekolah tari pertama di luar lingkup kraton, Kridha Beksa Wirama (KBW), dimana penari-penari muda seperti Setiarti Kailola dan kelak Bagong Kussudiardjo maupun pemerhati tari seperti Claire Holt berguru.

Kailola ― kini berusia 87 tahun dan masih sehat hingga tulisan ini ditulis ― kelak belajar tari yang berlandaskan gerak senam (gimnastik) pada sekolah yang didirikan Block de Neve (dua bersaudara keturunan Indo) sebelum akhirnya berguru pada Martha Graham selama dua periode di tahun 1950an. Holt menjadi salah satu etnografer pertama tentang tari Indonesia yang hingga kini koleksi dokumentasinya belum tertandingi (tersimpan rapi baik di Lincoln Centre of Performing Arts maupun di Cornell University). Sementara Kussudiardjo ― seperti Kailola ― bersama Wisnu Wardhana mendapat kesempatan untuk belajar tari modern di berbagai sekolah di Amerika Serikat, termasuk summer school selama dua minggu di Martha Graham (yang juga dihadiri oleh Kailola).

Dalam bentuk teks, gagasan tentang tari (gerakan yang disebut tari maupun tubuh yang menari) dituangkan secara deskriptif sekaligus teoretis oleh Mangkunegara VII, tentunya terbatas pada khasanah tari Jawa (Tengah). Seberapa jauh teks tersebut dibahas dan disikapi oleh generasi penari-penata tari berikutnya dalam karya-karya mereka, misalnya, patut ditelusuri.

Di luar lingkup Jawa dan Bali, tari ― atau seni pertunjukan/tontonan ― memiliki konteksnya sendiri. Di Minangkabau misalnya, apa yang kini dikenal luas sebagai ‘tari Minangkabau’ sesungguhnya berasal dari gerakan ‘pencak’ (bunga dari silat) yang biasa diperagakan sebagai ‘pamenan’ (permainan). Menurut Bagindo Fahmi, seorang budayawan asal Minangkabau, dalam Bahasa Minang, kata ‘tari’ asalnya hanya untuk melukiskan gerakan elang – bukan manusia (wawancara, Juli 2003). Jadi, konsep tari Minangkabau sebagai sebuah representasi teatrikal yang berdiri sendiri (autonomous) adalah sesuatu yang relatif baru.

Seringkali tari juga ‘tersembunyi’, hanya menjadi salah satu elemen dari sebuah pertunjukan ketimbang menjadi fokus/menu utama pertunjukan itu sendiri. Pada awalnya, pertunjukan tari dalam konteks budaya Betawi adalah bagian dari kesenian lenong atau topeng Betawi, bukan sebuah tontonan yang khusus. Baru pada tahun 1970an, koreografer Julianti Parani menciptakan tari berjudul Pelesiran, dan mendapat perhatian gubernur waktu itu, Ali Sadikin, yang kemudian mendorong para ahli tari untuk meneliti lebih lanjut tentang seni pertunjukan Betawi. Menurut Julianti, ia sesungguhnya mengambil idiom tari ballet, namun yang ia samarkan dan sesuaikan dengan rasa dan warna kultural Betawi.

Selain tradisi-tradisi lokal, tradisi ‘import’ seperti ballet klasik juga menjadi satu elemen yang kelak memberi warna pada perkembangan tari modern/kontemporer Indonesia. Menurut Prof James Danandjaja, ballet klasik di Indonesia mulai berkembang setelah Perang Dunia ke II, ditandai dengan dibukanya sekolah ballet Puck Meijer, seorang penari ballet asal Belanda yang pernah belajar di Perancis pada Madame Roxane, di Jakarta (1983). Meijer meninggalkan Indonesia ketika konflik Irian Barat pecah, namun murid-muridnya meneruskan/membuka sekolah-sekolah ballet klasik dimana kelak Julianti Parani dan Farida Oetojo belajar. Nani Lubis juga pernah belajar langsung pada Meijer.

Julianti Parani menelurkan karya ballet berjudul Sangkuriang (1960an), disusul karya-karya Farida Oetojo seperti Gunung Agung Meletus, Fariasi Minang atau seri Putih-nya selama tahun 1970-1980an yang sempat menjadi kontroversi. Ballet bertema Indonesia ini lantas disebut sebagai ballet Indonesia. Perguruan tari ballet klasik seperti Sumber Cipta dan Namarina turut andil dalam perkembangan apa yang kelak dikenal tari kontemporer di Indonesia, baik langsung maupun tidak. Langsung, karena para koreografer berlatar belakang ballet klasik ini kemudian mencoba mencari bahasa ucap baru dengan memasukan ‘warna’ Indonesia, baik itu dalam sisi narasi (mengangkat kisah atau isu lokal), maupun bentuk (kosa gerak).

Pada suatu periode, sekolah ballet Sumber Cipta pimpinan Farida Oetojo misalnya, juga mewajibkan para muridnya untuk belajar tari daerah seperti tari Jawa, Sunda dan Melayu/Minang. Generasi penari seangkatan Linda Hoemar dan Ditta Miranda Jasfji mengalami masa ini ― dan mereka berdua kelak meniti karir menjadi penari profesional di kelompok tari kontemporer internasional. Linda bergabung dengan Elisa Monte Dance Company di New York hingga mundur pada usia 28 tahun, sementara Ditta (kini 40 tahun) memulai dengan bergabung dengan Folkwang Tanzstudio di Essen, sebelum pindah ke Bremer Tanztheater pimpinan Susanne Linke dan Urs Dietrich dan tujuh tahun terakhir ini menjadi penari utama Wuppertal Tanztheater pimpinan Pina Bausch.

Tari dan Nasionalisme
Setelah Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, seni tari perlahan juga menjadi salah satu instrumen pembentukan identitas nasional ― sebuah fenomena yang juga muncul di negara-negara baru paska-kolonial seperti Taiwan, India maupun Jepang. Tari menjadi ‘wajah’ Indonesia, sebuah bangsa-negara (nation-state) baru, di mancanegara. Pada tahun 1952, John Coast, mantan Atase Pers Internasional Presiden Sukarno, muncul dengan gagasan membawa rombongan musisi gamelan dan penari asal desa Peliatan, Bali, untuk pentas di beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat. Coast berhasil membujuk kelompok gamelan dan penari asal desa Pliatan untuk berlatih selama setahun (Coast, 1953/4, 2004). Selain berlatih beberapa nomor lama, Coast juga meminta pencipta tari Kebyar Duduk, sang legendaris I Ketut Marie (lebih dikenal sebagai Mario) untuk menciptakan tari baru, berjudul Tumulilingan (Menghisap Sari).

Coast berhasil mendapat dukungan Presiden Sukarno agar negara mensponsori perjalanan touring kelompok Pliatan ke beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat. Hal ini kelak berlanjut dengan pengiriman ‘Misi Kesenian’ yang disponsori oleh pemerintah ke mancanegara, dua diantaranya penting disebut: World Cultural Affair tahun 1964 di New York dan Osaka Expo tahun 1970.

Semasa memerintah, Presiden Sukarno sendiri adalah patron kesenian tari, salah satunya dengan mengundang para seniman tari untuk manggung di Istana kepresidenannya. Di tahun 1950-1960an, berpentas di hadapan Sukarno di Istana Merdeka adalah sebentuk penasbihan artistik bagi para seniman tari.

Di ruang komersial, tari ditampilkan sebagai identitas lokal yang bisa menarik para turis. Pada tahun 1961, pemerintah Republik Indonesia yang baru berdiri kurang dari dua puluh tahun, memutuskan untuk memproduksi sebuah sendra-tari Ramayana untuk dipentaskan di panggung utama Candi Prambanan. Pertunjukan ini dikonstruksi sebagai salah satu atraksi bagi kepentingan dunia pariwisata. Konsep penciptaan tari pun berubah. Dengan format kolosal ― mencakup ratusan penabuh gamelan dan penari ― untuk mengisi panggung berpola prosenium (bukan pendopo) yang berukuran akbar. Mungkin untuk pertama kalinya, para penari berlatar belakang pendidikan tari klasik Jawa di kraton berbagi panggung dengan para penari wayang wong Sriwedari yang pada saat itu meski berstatus selebriti, namun masih sering dianggap profan oleh kalangan puritan/tradisionalis di masyarakat.

Dalam semua forum di atas, identitas lokal umumnya berwujud pada upaya mentransformasi tari tradisional menjadi sesuatu yang beridentitas nasional, ada kalanya melalui friksi artistik antara seniman sebagai pencipta dengan selera birokrat pemerintah dalam menerjemahkan kebijakan kultural pemerintah yang terkungkung oleh stereotip-stereotip masa lalu. Misalnya, karya Hoerijah Adam, Tari Payung (1969), yang terinspirasi oleh Tari Payung Melayu, sempat hampir tidak pergi ke Expo di Osaka tahun 1970 karena birokrat pemerintah pada waktu itu menganggap bahwa tarian versi Hoerijah terlalu banyak mengandung gerakan pencak-silat ketimbang tarian aslinya (Murgiyanto, 1991: 284). Hoerijah bahkan menyelipkan narasi yang bersumber dari kehidupan pribadinya dalam nomor yang aslinya, netral ini.

Memasuki pertengahan 1950an, Kedutaan Besar Amerika Serikat mulai memberikan beasiswa Rockefeller Foundation di bidang tari. Penari Indonesia pertama yang menikmatinya adalah Setiarti Kailola (lahir 1919), ketika ia masih menjadi murid Blok de Neve di daerah Menteng, Jakarta. Kailola belajar selama 9 bulan di Martha Graham, termasuk mementaskan sebuah karya solo Graham di studionya. Ketika kembali ke Jakarta, ia mendirikan sekolah tari yang mengajarkan teknik gerak/tari Martha Graham ― dan salah satu muridnya adalah Julianti Parani.

Kailola kembali belajar di Martha Graham lagi. Ketika ia mengikuti summer school, ia bertemu dengan dua penari asal Yogyakarta, Wishnu Wardhana dan Bagong Kussudiardjo yang sedang melakukan program fellowship selama 8 bulan di beberapa tempat di Amerika Serikat, termasuk dua minggu di sekolah musim panas Martha Graham. Sementara Sardono menyusul ke Amerika pada tahun 1964 sehabis tampil dalam peristiwa World Cultural Affair. Sardono memutuskan untuk tinggal selama setahun, dan ia pun belajar pada Jean Erdman, salah satu mantan penari Martha Graham.

Perjalanan tari ke Amerika Serikat mempengaruhi proses artistik para penari Indonesia di atas. Salah satu yang ditelaah adalah penelitian Sal Murgiyanto tentang pengaruh tari modern Amerika pada karya Sardono (tesis MA), terutama pada karya berjudul Samgita Pancasona I-XII yang akan dibahas pada bagian berikutnya.

Pemerintah sebagai patron baru seni juga mulai memikirkan tentang pendidikan formal di bidang kesenian. Pendidikan formal sebagai institusi modern pun didirikan, dimulai dengan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) di Yogyakarta pada tahun 1963. Kini sudah ada empat institut seni (ISI dan IKJ), sebuah STSI serta beberapa SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) setingkat SMA. Digagas sebagai wadah terbentuknya kebudayaan nasional, institusi pendidikan ini justru cenderung memperteguh identitas lokal di mana ia berlokasi. Kurikulum di bidang tari masih tetap menjadi soal hingga sekarang. Pada tahun 1968, misalnya, buku teks yang dipakai dalam kelas koreografi adalah buku klasik Doris Humphrey, The Art of Making Dances, salah satu pionir tari modern Amerika ― seperti yang direkam oleh Dr Sal Murgiyanto, salah satu mahasiswa ASTI pada waktu itu. Sayangnya, pembacaan teks ini hanya berhenti di upaya menerjemahkan baris per baris, tanpa ada upaya untuk juga membaca karya tari Humphrey sebagai dasar dari konsep koreografiknya. Karenanya, ketika di akhir semester para mahasiswa ditugaskan untuk mencipta/menata tari, mereka pun kelabakan (Murgiyanto, 1991).

Salah satu institusi yang penting perannya terhadap perkembangan tari modern/kontemporer Indonesia adalah berdirinya Pusat Kesenian Jakarta (PKJ), Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dan Lembaga Pendidikan dan Kesenian Jakarta (LPKJ) yang menjadi inisiatif pemerintahan Gubernur Jakarta Ali Sadikin (1966-1977). PKJ yang menaungi kompleks Taman Ismail Marzuki dibuka tahun 1968 sedangkan LPKJ berdiri tahun 1971 (kini menjadi IKJ).

Di salah satu program lokakarya tari yang digagas anggota komite tari DKJ termuda waktu itu, penari-koreografer Sardono, mengundang beberapa penari dan pencipta tari dari berbagai daerah dan latar belakang teknik tari untuk bergabung, dan saling berproses. Jadilah Sardono, I Wayan Diya, Hoerijah Adam, Julianti Parani, Farida Oetojo dan Retno Maruti ― untuk menyebut beberapa ― berkumpul dan berinteraksi dalam setiap latihan yang seringkali juga berujung pada produksi sebuah karya. Mereka menjadi kolaborator untuk masing-masing produksi (karya). Sardono menari untuk nomor Hoerijah Adam, begitu pula sebaliknya. Mereka saling membagi pengetahuan, pendekatan artistik/kreatif satu sama lain. Forum ini terbukti menjadi salah satu momentum dalam pencapaian artistik tari modern/kontemporer Indonesia yang menurut ingatan Sal Murgiyanto ― yang sempat terlibat sebagai penari ― tidak tertandingi hingga kini dalam tingkat atmosfer keterbukaan artistik antara sesama seniman tari di Indonesia.

Modern, Avant-garde, Kontemporer
Pada awal tulisan ini telah dibahas definisi tari modern dari beberapa perspektif dan problematika di seputar wacana yang melingkupi terminologinya. Pendapat Sally Banes tentang tari modern yang tidak modernis ― yang dilandasi pengertian modernisme Greenbergian ― telah dibantah oleh Susan Manning dan Ramsay Burt, yaitu dengan mengaitkan tari dengan ideologi nasionalistik dan internasionalisme yang jelas tercermin dalam karya Mary Wigman dan Graham.

Bantahan Manning awalnya berkaitan dengan diterbitkannya kembali buku klasik Banes (Terpsichore in Sneakers) in 1987. Ia lantas menerbitkan bukunya yang terkenal, Ecstacy & the Demon: Feminism and Nationalism in Modern Dance (1993), di mana ia lebih lanjut memaparkan hubungan antara tari modern dengan gagasan nasionalisme dan feminisme dalam konteks tari ekspresionis (yang modernis) dari Jerman. Sementara Burt menggunakan proposisi Manning untuk menjelaskan hubungan antara karya-karya Martha Graham (koreografer yang membakukan tradisi tari modern setelah para perintis seperti Isadora Duncan dan Denishawn) dengan pernyataan-pernyataan tentang kekhususan pengalaman modern bangsa Amerika (1998: 13).

Diskusi tentang apa dan siapa pelopor tari modern/kontemporer Indonesia pertama disinggung oleh Sal Murgiyanto dalam karya tulis MA nya, The Influence of American Modern Dance on The Contemporary Dance of Indonesia (1976). Murgiyanto berargumen bahwa Sardonolah yang memulai tari kontemporer Indonesia (awalnya tidak menyebut modern) dengan terutama melandasi argumentasinya ini pada karya Sardono berjudul Samgita Pancasona I-XII (1976: 8). Murgiyanto juga menulis bahwa Jawa dan Balilah yang menjadi titik awal berangkat dan terciptanya tari kontemporer Indonesia.

Murgiyanto memulai analisanya pada posisi tubuh, ritme dan ko-ordinasi, ruang serta muatan simbolik dan perasaan dalam tari Jawa dan Bali dan bagaimana semua ini kemudian diolah oleh Sardono dalam menggarap karya awalnya, Samgita Pancasona. Ia lantas merunut proses penciptaan Samgita Pancasona ― sekaligus menghubungkannya dengan praktek-praktek penciptaan di tari modern Eropa-Amerika: bagaimana Sardono justru berpaling pada primitivisme dengan belajar tentang tarian suku-suku Dayak di Kalimantan pada tahun 1968-1969 (seperti juga Isadora Duncan dan Martha Graham), eksposurnya terhadap metode dan pendekatan improvisasi dalam tari modern Amerika (hasil mengambil kelas di Jean Eardman pada tahun 1964), serta konsepsinya tentang ruang (melalui latihan-latihan tari di luar ruang yang dijalani kelompoknya, termasuk di Candi Prambanan), serta refleksi Sardono tentang kehidupan (dan problematik) dunia modern ― secara tematik ― yang mendorongnya untuk menanggalkan unsur-unsur dekoratif dalam tari dalam rangka mencari yang esensial. Pencarian artistik Sardono dalam Samgita Pancasona berujung dimensional karena ia mengubah dan memanggungkannya hingga dua belas kali dalam kurun tiga tahun dengan kolaborator yang berganti-ganti, termasuk susunan penarinya, yang diikuti oleh pelukis dan pematung (Danarto). Tentang tari kontemporer, dalam tesisnya ini, Murgiyanto mengutip Lois Ellfedt (1967):

Jadi, ada landasan bagi para wartawan Indonesia untuk menyebut karya Sardono sebagai tarian kontemporer (contemporary dances), karena “ ia adalah manifestasi dari dunia dan waktu di mana sang koreografer hidup. (Murgiyanto, 1976, 29).

Sayangnya, benih-benih analisa ini menjadi cair dalam karya disertasi doktoralnya yang selesai lima belas tahun kemudian (tahun 1991). Di tengah deskripsi mendetail dan mendalam tentang biografi dan kesenimanan empat koreografer Indonesia ― salah satunya Sardono ― Murgiyanto menulis bahwa adalah modernisme, lebih spesifik lagi avant-gardisme, yang menuntun upaya kreatif Sardono (1991:431), tanpa menginvestigasi lebih lanjut (mengingat Sardono sudah melahirkan banyak karya hingga akhir tahun 1980an). Fokus Murgiyanto bergeser dalam menganalisa tentang peran tradisi ― lewat perspektif perubahan dan kelanjutan ― melalui kehidupan dan karya keempat koreografer subyeknya. Mengontraskan Sardono dengan Bagong Kussudiardjo, Murgiyanto mengatakan bahwa jika Bagong lebih melihat tari sebagai bentuk seni teatrikal, Sardono melihat tari lebih sebagai produk kultural.

Literatur yang membahas dengan kritis tentang tari modern dan kontemporer pada tahun 1976 ― ataupun sebelum tahun 1991 ― memang tidak sebewarna sekarang[1], terutama dalam hal prisma perspektif yang ditawarkan. Gagasan/muatan nasionalisme dan feminisme dalam tari modern, misalnya, baru muncul awal 1990an (antara lain lewat karya-karya Manning dan Burt).

Dari pembicaraan dengan Murgiyanto (interview, 8 November 2007) serta saksi mata yang pernah menonton Samgita Pancasona, terungkap bahwa karya ini meski masih memakai cerita yang diambil dari sumber tradisi, yaitu cerita tentang Subali-Sugriwa dalam epik Ramayana, namun pendekatan pemanggungannya telah menelanjangi elemen-elemen gemerlap tradisi (tari klasik Jawa). Dipentaskan minimal 12 kali dan selalu ada elemen atau sekuens yang berubah, hingga ditandai dengan angka I hingga XII, Samgita Pancasona seperti melalui transformasi dari sebuah komposisi koreografik yang longgar dan improvisatif perlahan menjadi susunan koreografik yang terstruktur.

Koreografer berikutnya yang tak kalah penting dibahas adalah Hoerijah Adam (1936-1971) dari Minangkabau, Sumatera Barat. Hoerijahlah yang mencari tari Minangkabau yang autentik. Apa yang disebut tari Minangkabau pada waktu itu (akhir 1950an) adalah tarian yang banyak dipengaruhi oleh budaya tari Melayu. Investigasi Hoerijah mengungkapkan yang lain. Menurutnya, tari Minangkabau itu lebih mendasarkan dirinya pada gerakan pencak-silat Minang. Hoerijah melangkah lebih jauh dengan membuat kodifikasi gerakan pencak-silat menjadi satu kosa kata gerak (teknik). Apa yang ia rintis, membuka jalan bagi koreografer Minangkabau berikutnya, seperti murid langsungnya, Gusmiati Suid (1942-2001), Deddy Luthan, Boi G. Sakti, Hartati, hingga koreografer muda Minang generasi berikutnya.

Mengikuti proses kreatif Hoerijah lewat forum lokakarya yang diciptakannya, Sardono (dalam Murgiyanto, 1991: 348) berujar:
Dari lokakarya ini, Huriah Adam mampu bercermin pada dan merevitalisasi tradisinya sendiri. Dari dia, saya belajar tentang cara seorang wanita Minangkabau mengekspresikan perjuangan serta kepribadiannya melalui gerakan, sebuah ekspresi yang tidak pernah saya lihat di tari Jawa, di mana perempuan harus mementaskan sebuah tipe ideal, bukan dirinya (terjemahan saya).

Hoerijah memang memperkenalkan wacana feminisme berwarna lokal ke dalam gaya tari Minangkabau ‘baru’, maupun ke dalam karya koreografiknya yang seringkali biografik: dilema wanita Minangkabau modern, yang terbelah di antara dunia yang masih memegang adat dan tradisi dan keinginan untu mewujudkan impuls-impuls artistik.

Memasuki abad ke-21, dibutuhkan kacamata dan perspektif baru dalam membaca karya tari Indonesia – apa yang masih sangat modernis, mana yang sudah mewujud kontemporer. Sal Murgiyanto memulai dengan Sardono (1976), bagaimana selanjutnya?

Modernisme: Konsep Transkultural, Transnasional
Pada tahun 1950an, tari modern Eropa dan Amerika telah memapankan bentuk dan wacananya. Jika pada awal abad ke 20, Isadora Duncan mencari yang purba (ancient), disusul Mary Wigman mencari yang ekspresif (dan primitif), lalu diteruskan oleh orientalisme Denishawn yang seringkali berwujud dangkal, maka pada tahun 1950an Martha Graham ― justru menentang gaya orientalis superfisial ala Denishawn ― kembali mencari yang primitif, sembari melahirkan sebuah bahasa tari ― kosa kata dan teknik gerak ‘contract and release’nya yang terkenal dan mendunia.

Di tahun 1960an, Graham yang modernis, mendapat tantangan dari seniman-seniman tari jebolan Judson Church yang mendobrak dengan apa yang kemudian dikenal sebagai tari post-modern Amerika. Salah satu pelopor dari tari post-modern ini adalah Merce Cunningham yang notabene adalah mantan penari Graham. Jadi jika ditilik lebih dalam, garis dialektis tari modern terukir jelas dalam pola sintesis-antitesis-sintetis, mulai dari ballet klasik ke tari modern (Duncan/Wigman dan Graham) menuju gerakan Judson Church hingga periode ‘kontemporer’ setelahnya yang berspektrum meluas (mulai Tanztheater Jerman yang diusung Pina Bausch hingga generasi konseptual Jerome Bel di Perancis hingga angkatan koreografer termuda).

Kembali bercermin ke penulisan historiografis tari Indonesia, apa sih ciri-ciri tari modern Indonesia, dan kapan ia berubah menjadi tari kontemporer? Sal Murgiyanto menunjuk gagasan koreografer individual sebagai sebuah aspek penting dari dampak (kebudayaan) Barat (1991: 473). Menurutnya, koreografer individual menciptakan karya-karya baru lebih sebagai ekspresi diri ketimbang ekspresi komunal. Karya-karya semacam ini menekankan kreativitas, “kemampuan untuk memperkenalkan perubahan,” bukannya akurasi (Murgiyanto, mengutip Richard Schechner pada bagian dalam tanda kutip).

Ia lantas mengaitkan konsep ‘modern’ dengan (konsep) perubahan (change) dan kelanjutan (continuity). Menurutnya, orang Eropa-Amerika mengidentifikasi kreativitas dengan perubahan radikal (1991: 473). Sedangkan orang-orang Indonesia lebih mengapresiasi perubahan, apakah itu secara kolektif maupun personal, ketika perubahan itu terjadi secara bertahap. Karenanya, dalam tari Indonesia, istilah ‘modern’ tidak selalu berarti perubahan radikal.

Ketimbang menerapkan pendekatan ‘perubahan dan kelanjutan’ yang dipakai Murgiyanto, saya ingin meminjam pendekatan Burt (dalam konteksnya, ia menggunakan pendekatan ini untuk membaca tari modern antara tahun 1920an dan 1930an di Eropa dan Amerika), yang menilik tari modern melalui hubungan antara modernisme dan modernitas: bahwa modernisme bukanlah ekspresi estetika langsung dari ideologi-ideologi kemajuan (progress) melainkan sebuah dekonstruksi progresif dari konvensi-konvensi dan tradisi-tradisi estetika yang sudah kuno (outmoded). Hal ini ― antara lain ― tercermin pada proses penciptaan dan wujud karya Samgita Pancasona I-XII karya awal Sardono (diciptakan antara tahun 1968 dan 1971)[2] maupun upaya Hoerijah Adam untuk menciptakan kosa dan teknik gerak tari Minangkabau yang lahir dari proses transformasi bentuk-bentuk tari rakyat pedesaan serta dorongan-dorongan untuk melepaskan dominasi pengaruh kebudayaan Melayu dalam tari.

Konsekuensinya, tari modern ― juga mencakup modern dancing ― dikaitkan pada dua hal: isu dan karakteristik modernisme (sebagai sebuah gerakan/aliran dalam seni yang menandakan dekonstruksi progresif tadi serta kaitan antara modernisme dan modernitas yang dialami oleh (seniman tari) Indonesia yang harus dilihat akibatnya melalui konstelasi identitas etnis (bukan ‘ras’ seperti pada pendekatan Burt). Meski, berbeda dengan Burt, tari modern Indonesia bukanlah mewujud menjadi ‘alien bodies’ (tubuh-tubuh alien) di ruang-ruang baru yang lahir dari proses modernitas, melainkan tubuh-tubuh yang menghibrida (‘hybrid bodies’) yang terlahir dari keragaman etnis dan kebudayaan sebuah negara-bangsa paska-kolonial (Indonesia) dengan kompleksitas dan paradoks modernitas dan pengalaman multikulturalisme yang dialaminya.

Sementara beberapa karya kolaboratif Sardono – seperti Dongeng Dari Dirah (1974), Meta Ekologi (1979) dan Hutan Yang Merintih (1983) - mengindikasikan semangat avant-garde yang ditandai dengan motif dan radikalisme politis, yang estetikanya memilih substansi ketimbang ungkapan keindahan yang konvensional. Dengan menaruh koreografi Hutan Yang Merintih sebagai salah satu bagian dari peristiwa kebudayaan yang ia beri judul “Kerudung Asap di Kalimantan”, Sardono juga meluaskan batasan-batasan tentang ‘pertunjukan’ (performance) ― jauh keluar dari panggung prosenium dimana Hutan Yang Merintih dipanggungkan.

Sudah sejarahnya sejak awal, tari modern menjadi sebuah praktek yang antara lain dipicu oleh baik nasionalisme dan internasionalisme. Ia adalah praktek yang mengglobal, menjangkau tidak saja wilayah geografis namun juga artistik. Karenanya, tari modern ― terlebih kontemporer ― adalah praktek yang bersifat transkultural dan transnasional. Sehingga, alamiah jika bahkan dalam taraf wacana pun, adalah penting untuk mencari tempat berpijak yang juga mengandung kata-kata sifat di atas. Mencari dan merumuskan tari modern/kontemporer Indonesia barulah memasuki taraf berjingkat ke dalam wilayah-wilayah diskursus dan filosofis ini.

Helly Minarti, penulis dan peneliti tari kontemporer Indonesia. Memperoleh gelar Master dalam International Journalism, City University, London. Email: garuku@mac.com

Bibliografi
Banes, Sally, 1987 (1977), Terpsichore in the Sneaker,
Bloembergen, Marieke (2006), Colonial Spectacles: The Netherlands and the Dutch East Indies at the World Exhibitions, 1880-1931, Singapore: Singapore Univeristy Press, terjemahan Beverley Jackson.
Burt, Ramsay, 1998, Alien Bodies: Representations of Modernity, ‘Race’ and Nation in Early Modern Dance, London: Routledge.
Coast, John, 2004 (1952-3), Dancing Out of Bali, Singapoer: Periplus International.
Craine, Debra and Judith Mackrell, 2004 (02), Oxford Dictionary of Dance, Oxford: Oxford University Press.
Danandjaja, James Dr, 1983, Sejarah Perkembangan Ballet di Indonesia: Suatu Usaha Penyusunan Permulaan (diskusi di Dewan Kesenian Jakarta).
Murgiyanto, Sal, 1976, The Influence of American Modern Dance on the Contemporary Dance of Indonesia, an M.A research project, University of Colorado.
Murgiyanto, Sal, 1991, Moving Betweeen Diversity: Four Indonesian Choreographers, unpublished dissertation, New York: New York University.

[1] Buku klasik yang turut menandai ‘kelahiran’ kajian tari (dance studies), Reading Dancing: Bodies and Subjectivity in American Dance, karya Susan Leigh Foster baru terbit tahun 1986.

[2] Untuk penulisan ini saya tidak berhasil mewawancara Sardono dikarenakan kesibukannya, sementara saya juga gagal menemukan video dari Samgita Pancasona (SP) kecuali selembar foto yang menjadi bagian tesis MA dari Sal Murgiyanto (1976). Kesan dan pandangan saya tentang SP di sini lebih didasarkan pada tulisan dan wawancara langsung dengan Sal Murgiyanto (yang menjadi salah satu kolaborator Sardono – sebagai penari - pada episode-episode awal SP).

0 komentar:

Posting Komentar

 
Blogger Templates