Namanya
Bu Mitro. Sudah sepuh. Saya menginap di rumahnya (di Desa Segoro
Gunung, bagian ujung Karanganyar, Jawa tengah, yang bersebelahan dengan
Madiun, Jawa Timur) selama masa KKN 2011 silam. Keluarganya tegolong
sangat berkecukupan untuk ukuran perekonomian petani di sekitar lereng
Gunung Lawu.
Bu Mitro adalah perempuan yang sangat tegar dan kuat, secara mental
dan fisik. Ia salah satu wanita yang harus menjalani tradisi menikah di
usia sangat belia. Dan Bu Mitro muda, mampu bersalin sendiri di
rumahnya, tanpa bantuan siapapun, suaminya pun tidak. Anak-anaknya tetap
tumbuh sehat, tak kurang suatu apapun. Saya amat kagum pada ketegaran
hatinya.
"Satu-satunya kesalahan saya kepada Beliau—Selain tidak sengaja
menginjak kucingnya yang sedang hamil—adalah bertanya “Ibu mau ikut ke
masjid?”.
Hampir dua bulan menginap di rumah Beliau, membuat saya hafal kapan
saatnya Beliau pergi ke sawah, kapan memasak untuk kami, dan kapan saat
menggoda cucu-cucunya. Hingga sayapun hafal tak ada waktu bagi ia untuk
beribadah.
“Ibu ini Islam, tapi ya untuk di KTP saja Islamnya, Nduk. Ibu ndak
pernah tahu rasanya shalat dan puasa. Bapak juga begitu. Kebanyakan
warga di sini begitu.”
Mayoritas mereka hidup sebagai Islam abangan atau Islam kejawen, lalu
dimakamkan dengan tradisi Hindu. Namun tetap ada sebagian yang
menjalankan Islam sesuai syariat, bahkan sampai tidak lagi melakukan
bid’ah dan takhayul. Bu Mitro memberi kebebasan seluas-luasnya bagi
anaknya untuk beragama. Beberapa anaknya memilih menjadi Katolik, dan
anak bungsunya menjadi Muslimah yang menutup rapat auratnya.
“Tapi Ibu pengen ketemu Kanjeng Nabi (Nabi Muhammad SAW). Katanya
dia membawa rahmat buat semua umat. Pengen bilang makasih, karena
rahmatnya terus mengalir sampai sekarang. “
Saya mengamini perkataan Beliau, dan menyadari bahwa sebenarnya
Beliau sedang mengakui poin keimanannya, dalam konteks yang sangat
sederhana. Ia kagum dan percaya kisah heroik Kanjeng Nabi, namun
barangkali tak melampaui kesetiannya pada tradisi budayanya.
Tuhan menakdirkan Bu Mitro lahir di tempat ini, tempat yang kelak
menjadi tujuan para ex-aktivis PKI yang kabur dari Solo dan sekitarnya.
Menetapnya mereka semakin mempengaruhi proses akulturasi beberapa
kepercayaan dominan; Islam kejawen, Hindu dan Katolik yang kesemuanya
mengutamakan tradisi kultur dibandingkan syariat.
Di tempat ini, banyak ditemukan masjid berdempetan dengan patung para
dewa Hindu, berseberangan dengan sesajen bunga yang ditabur saat malam
Jum’at. Atau gereja Katolik Jawa yang (menurut teman saya yang beribadah
di gereja itu), lagu puji-pujiannya mirip nada lagu tradisonal Bali.
Menurut Bu Mitro, pernah beberapa kali orang-orang dari pesantren
berkunjung, menyiarkan tentang aqidah Islam yang sesuai syariat.
Beberapa warga tertarik, dan menjadi Muslim seutuhnya. Namun tetap
tersisa orang-orang seperti Bu Mitro, yang teguh pada identitas Jawanya.
Mereka yakin bahwa Islam yang dikawinkan dengan tradisi Jawa adalah
pilihan yang paling sesuai bagi mereka. Karena tradisi itu lahir di
tempat mereka sendiri, bukan ideologi yang didapat dari luar Jawa bahkan
di luar Indonesia (Dalam hal ini maksudnya adalah tradisi Arab).
Saat ceramah di bulan Ramadhan, salah seorang kyai di mesjid desa
berkata (dalam bahasa Jawa halus yang tidak saya mengerti tentunya, dan
sudah dengan susah payah diterjemahkan oleh anak bungsu Bu Mitro).
Kira-kira begini terjemahannya;
“Kita harus menghormati mereka yang tidak berpuasa, jangan kita
yang berpuasa saja yang minta dihormati. Kalau kita menyebalkan, saudara
kita yang kejawen dan non Islam pasti tidak tertarik mengikuti ajaran
Islam yang dicontohkan Nabi”.
Saya bersyukur, pemuka agama di desa ini adalah yang paham bahwa
mengamalkan dan mencontohkan, adalah syiar dakwah yang terbaik. Bukan
seperti mereka yang berapi-api mengkafirkan sesama, yang tak lagi bisa
membedakan antara ego pribadi dengan tujuan membela agama.
Setelah selesai masa KKN, saya masih sempat berkunjung ke Desa Segoro
Gunung, setidaknya sampai dua tahun berikutnya (2013). Kondisinya masih
sama.
Bu Mitro dan suaminya masih menjadi abangan yang taat, namun toleran luar biasa pada siapapun yang tak sejalan dengannya.
Masih terdengar suara adzan yang merdu dengan pengucapan “Hayya’ Ngalas-shalaah; Hayya’ Ngalal Falaah”.
Masih ada patung dan arca Hindu di sebelah Masjid.
Dan makam Muslim yang meninggal masih dilapisi semen, ataupun batu serupa bahan baku candi.
Mereka semua, masih tetap berdampingan.
Saya tak sejalan dengan apa yang amat diyakini Bu Mitro.
Namun darinya, saya belajar menjadi taat tanpa harus memaksa kehendak.
Taat yang menenangkan, yang menjaga nama Tuhan dalam diam, dalam
hubungan yang sangat sakral.
Saya kerap kali memperhatikan mukanya lekat-lekat. Garis kerutannya yang
paling tebal berada di tepi mulutnya, yang terbentuk karena terlalu
sering tersenyum. Mata teduhnya pun menenangkan, membuat siapapun yang
baru mengenalnya bisa merasa sangat dekat dengannya.
Saya tak mau mempermasalahkan pro-kontra mendo’akan saudara yang tidak
seiman. Saya hanya ingin terus mendo’akan hal terbaik untuk Beliau.
Diterima atau tidaknya do’a saya, itu menjadi ranah kerja Tuhan saya.
|
Bu Mitro dan Suaminya |
Yang
saya tahu, saya ingin selalu melihat kerut di garis senyumnya. Maka
semoga hidupnya dilingkari kebahagiaan, semoga masa tuanya tak perlu
dipusingkan dengan omongan tetangga yang kadang menyakiti hatinya, dan
apa yang menjadi keinginan terdalamnya dapat diwujudkan.
Amiin.
Terima kepada Athifa